Rabu, 15 April 2015

Biografi Arthur Schopenhauer

Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman yang melanjutkan tradisi filsafat pasca-Kant.[2] Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788.[2][3] Ia menempuh pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris.[3] Ia mempelajari filsafat di Universitas Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun 1813.[3] Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal dunia di sana pada tahun 1860.[3]
 
Dalam perkembangan filsafat, Schopenhauer dipengaruhi dengan kuat oleh Imanuel Kant dan juga pandangan Buddha.[2] Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide dan kehendak.[2] Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada bidang penampakan atau fenomena, sehingga benda-pada-dirinya-sendiri (das Ding an sich) tidak pernah bisa diketahui manusia.[2] Misalnya, apa yang manusia ketahui tentang pohon bukanlah pohon itu sendiri, melainkan gagasan orang itu tentang pohon.[2] Schopenhauer mengembangkan pemikiran Kant tersebut dengan menyatakan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri itu bisa diketahui, yakni "kehendak".[2]

Biografi

Arthur Schopenhauer lahir di Danzig (sekarang Gdańsk).[4][5] Dia adalah putra dari Heinrich Floris Schopenhauer dan Johanna Schopenhauer.[4] Kedua orang tuannya adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan.[4] Keluarga Schopenhauer pindah ke Humburg ketika Kerajaan Prussia dikuasai Polish-Lithuanian Commonwealth kota Danzig tahun 1793.[4] Tahun 1805, ayah Schopenhauer bunuh diri.[4] Setelah itu, ibu Schopenhauer, Johanna pindah ke Weimar, yang kemudian menjadi pusat literatur Jerman.[4] Kepergiannya ke sana untuk melanjutkan karirnya sebagai penulis.[5] Setahun kemudian, Schopenhauer meninggalkan bisnis keluarganya yang ada di Humburg. Dia pergi ke Weimar dan tinggal dengan ibunya.[5]
Schopenhauer pun kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada tahun 1809.[6] Pada masa perkuliahannya, dia belajar tentang metafisika dan psikologi di bawah bimbingan Gottlob Ernst Schulze, penulis buku Aenesidemus, yang mengajurkannya agar berkonsentrasi pada Plato dan Immanuel Kant.[6] Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf post-Kant terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher.[6]

Selama di Berlin

Pada tahun 1814, Schopenhauer memulai pekerjaannya sebagai penulis dengan judul bukunya The World as Will and Representation (Die Welt als Wille und Vorstellung), Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan.[7] Dia menyelesaikannya pada tahun 1818 dan menerbitkannya setahun kemudian.[7] Pada tahun 1820 Schopenhauer menjadi dosen di Universitas Berlin.[7] Dia menjadwalkan untuk memberikan kuliah yang sama dengan pemikiran filsuf terkenal G. W. F. Hegel.[7] Schopenhauer menyebutnya sebagai clumsy charlata.[7] Namun, hanya lima orang yang berminat mengikuti kuliahnya dan dia pun di keluarkan dari akademi tersebut.[7]
Ketika berada di Berlin, Schopenhauer pernah menjadi tersangka atas tuduhan dari seorang wanita bernama Caroline Marquet.[7] Wanita tersebut menuduh Schopenhauer telah mendorongnya.[7] Di dalam pengadilan Schopenhauer bersaksi bahwa wanita itu telah mengganggunya dengan suaranya yang keras di depan pintu Schopenhauer.[7] Caroline Marquet pun menuduh Schopenhauer telah memukulnya setelah wanita itu menolak untuk pergi dari pintunya.[7] Marquet pun menang di dalam pengadilan tersebut.[7] Schopenhauer pun dituntut membayar wanita itu selama dua puluh tahun ke depan. Ketika perempuan itu meninggal dunia, Schopenhauer menulis sertifikat kematiannya dengan Obit anus, abit onus ("The old woman dies, the burden flies").[7] Hal inilah mungkin yang membuat dia sangat membenci wanita.[7]
Pada tahun 1812, dia jatuh cinta kepada seorang gadis berusia Sembilan belas tahun.[7] Gadis itu seorang penyanyi opera dan bernama Caroline Richter. Mereka pun sempat berhubungan dengannya selama beberapa tahun. Namun, dia membatalkan rencana pernikahannya.[7]
Setelah kematian ayahnya, Schopenhauer meneruskan bisnis ayahnya sebagai pedagang.[7] Usaha itu dijalankannya selama dua tahun.[7] Sedangkan ibunya pergi ke Weimar.[7] Schopenhauer pun belajar di Gota Gym.[7] Setelah itu, dia meninggalkannya karena muak dengan cercaan gurunya.[7] Dia pun pergi ke tempat menemui ibunya.[7] Ibunya pda waktu itu telah membuka sebuah salon kecil.[7] Namun, dia tidak cocok dengan pekerjaan ibunya itu dan dia pun muak dengan ibunya yang dianggap melupakan kenangan bersama ayahnya.[7] Schopenhauer pun kemudian berkuliah di sebuah universitas.[7] Di sana dia menulis buku pertamanya, On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason.[7]

Pindah ke Frankfrut


Schopenhauer ketika masih muda
Pada tahun 1813, wabah kolera menyerang Berlin dan Schopenhauer tinggal di kota itu.[7] Schopenhauer pun menetap di Frankfrut tahun 1833.[7] Pada saat itu, dia telah berusia dua puluh tujuh tahun.[7] dia tinggal sendirian di Frankfrut, kecuali dengan binatang kesangannya Atman dan Butz.[7] Karyanya berupa pemikiran yang paling menonjol di sepanjang hidupnya adalah Senilia.[7] Judul ini diterbitkan sebagai penghargaan kepadanya.[8] Schopenhauer mempunyai sebuah undang-undang yang kuat.[8] Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan filsuf Imanuel Kant.[8] Kekagumannya kepada keduanya itu ama besar.[8] Hal ini terlihat dari ruang kerjanya dipasang dengan kedua patung tokoh tersebut.[8]
Pada tahun 1833, Dia hidup sebagai bujang kaya berkat warisan orangtuanya.[2] Schopenhauer hidup dengan ketakutan kerena dia merasa terancam.[2] Oleh sebab itu, dia sering tidur dengan pistol di sampingnya.[2] Ia banyak menerbitkan tulisan, namun tidak laku dijual. Dia sendirilah yang membeli buku karya tulisannya untuk disimpan.[2] Beberapa tahun menjelang akhir hidupnya, barulah ia terkenal.[2] Buku yang disimpannya itupun diedarkannya.[2] Schopenhauer hidup sendiri.[2] rencana pernikahannya selalu berantakan.[2] Dia menganggap hidup dengan banyak orang memuakkan dan membuang waktu baginya.[2] Ia menhina dan mengejek Kaum wanita sebagai “para karikatur”.[2]

Akhir Hidupnya

Pada tahun 1860, keadaannya mulai memburuk.[8] Dia pun meninggal pada 21 September 1860 karena gagal jantung ketika duduk di bangku sekitar rumahnya.[8] Dia meninggal pada usia yang ketujuh puluh dua tahun.[8]

Pemikiran Filosofis

Filsafat Keinginan

Schopenhauer memberikan fokus kepada investigasinya terhadap motivasi seseorang.[2] Sebelumnya, filsuf terkemuka Hegel telah mempopulerkan konsep Zeitgeist, ide bahwa masyarakat terdiri atas kesadaran akan kolektifitas yang digerakkan di dalam sebuah arah yang jelas.[2] Schopenhauer memfokuskan diri untuk membaca tulisan-tulisan dua filsuf terkemuka pada masa kuliahnya, yaitu Hegel dan Kant.[2] Schopenhauer sendiri mengkritik optimisme logika yang dijelaskan oleh kedua filsuf terkemuka tersebut dan kepercayaan mereka bahwa manusia hanya didorong oleh keinginan dasar sendiri, atau Wille zum Leben (keinginan untuk hidup) yang diarahkan kepada seluruh manusia.[2]
Schopenhauer sendiri berpendapat bahwa keinginan manusia adalah sia-sia, tidak logika, tanpa pengarahan dan dengan keberadaan, juga dengan seluruh tindakan manusia di dunia.[2] Schopenhauer berpendapat bahwa keinginan adalah sebuah keberadaan metafisikal yang mengontrol tindak hanya tindakan-tindakan individual, agent, tetapi khususnya seluruh fenomena yang bisa diamati.[2] Keinginan yang dimaksud oleh Schopenhauer ini sama dengan yang disebut dengan Kant dengan istilah sesuatu yang ada di dalamnya sendiri.[2]
Pandangan filosofis Schopenhauer melihat bahwa hidup adalah penderitaan.[2] Schopenhauer menolak kehendak.[2] Apalagi dengan kehendak untuk membantu orang menderita.[2] Ajaran Schopenhauer menolak kehendak untuk hidup dan segala manifestasinya, namun ia sediri takut dengan kematian.[2] I'AM STAYING HERE

Keputusan dan Hukuman

Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan.[2] Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat.[2] Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar.[2] Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya.[2] Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan.[2] Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya.[2] Segala kebutuhan dan tanggung jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal.[2] Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas, haruskah kejahatan dihukum?[2]

Catatan

Filsafat Schopenhauer ini termasuk ke dalam Idealisme Jerman.[2] Pendapat ini dibuktikan melalui perbandingan antara filosofis Schopenhauer dengan pandangan Idealisme Jerman.[2] Keduanya mengajarkan bahwa realitas bersifat subjektif, artinya keseluruhan kenyataan merupakan konstruksi kesadaran Subjek.[2] Dunia ini juga dipandang sebagai ide.[2] Pandangan Schopenhauer ini pun dijadikan wakil dari Idealisme Jerman.[2] Sekalipun memang ada hal-hal yang bersifat lebih khusus dan fundamental yang membedakan pemikiran Schopenhauer dengan Idealisme Jerman.[2] Bagi Schopenhauer, dasar dunia ini transcendental dan bersifat irasional, yaitu kehendak yang buta.[2] Kehendak ini buta, sebab, sebab desakannya untuk terus-menerus dipuaskan tidak bisa dikendalikan dan tidak akan pernah terpenuhi.[2] Namun, justru keinginan yang tak sampai berarti penderitaan.[2] Selanjutnya, menurut dia bahwa kehendak transendental itu mewujudkan diri dalam miliaran eksistensi kehidupan, maka hidup itu sendiri merupakan penderitaan.[2] Jalan keluar yang diusulkan Schopenhauer ini pun cukup logis.[2] Kalau hidup ini adalah penderitaaan, maka pembebasan dari penderitaan tersebut tentunya akan tercapai melalui penolakan kehendak untuk hidup.[2] Konkretnya adalah lewat kematian raga dan bela rasa.[2]
Cara pemikiran Schopenhauer ini menarik.[2] Namun, tetap saja memiliki kesalahan.[2] Masalah dalam filsafatnya berkaitan dengan pandangannya atas pengetahuan tentang prinsip individuasi.[2] Menurut Schopenhauer, berkat pengetahuan inilah manusia sadar bahwa dirinya adalah sama dengan semua makhluk hidup lain (dasar dari sikap bela rasa) sehingga dia tidak perlu memutlakkan diri dan keinginannya (dasar sikap mati raga atau penyangkalan diri).[2] Tanpa pengetahuan ini, manusia tidak akan mengalami pencerahan dan tetap berada dalam kegelapan.[2]
Anggapan Schopenhauer ini menekankan dua hal, yaitu bahwa kesadaran manusia terbukti lebih kuat dibandingkan nafsu dan keinginannya, dan bahwa karena itu ia juga mampu memperhatikan keadaan kepentingan orang lain, di dalam hal ini berarti bahwa manusia bukanlah makhluk egois sebagai mana yang dipikirkan oleh Schopenhauer.[2] Namun, jika kesadaraan bisa menguatkan manusia menyangkal diri dan berbela rasa, bukankah demikian kehendak untuk hidup itu sendiri bukan merupakan dasar dari segalanya?[2]

Pengaruh

Kendatipun demikian, pengaruh Scopenhauer dalam perkembangan pemikiran selanjutnya cukup besar.[2] Ia membuka jalan bagi orang suatu psikologi tentang alam bawah sadar ala Freud.[2] Pemikiran Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup di kemudian hari mempengaruhi filsafat Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht)'.[2] Setengah abad kemudian, ajaran Schopenhauer ini memberikan inspirasi pada filsafat hidup (Vitalisme), misalnya pada pemikiran Henry Bergson (1859-1941).[2] Selain itu, ia menghidupkan perhatian dan minat orang Barat pada studi kesustraan dan agama-agama Timur, terkhusus Buddhisme.[2]

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Arthur_Schopenhauer#cite_note-Simon-2 

 Pemikiran Arthur Schopenhauer
 
Arthur Schopenhauer merupakan salah satu filsuf yang memberikan ide tentang filsafat seni/estetika yang berpengaruh pada abad ke-18. Dalam perkembangan filsafat, Schopenhauer dipengaruhi dengan kuat oleh Imanuel Kant dan juga pandangan Buddha. Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide dan kehendak. Schopenhauer mengembangkan pemikiran Immanuel Kant tersebut dengan menyatakan bahwa benda pada dirinya sendiri itu bisa diketahui, yakni "kehendak". Filsafat Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi terhadap filsafat Hegel. Dalam Hegel masih ditemui suatu optimisme rasional; segala ‘Ada’ akhirnya bersifat rasional, bermakna dan dapat dimengerti. Schopenhauer berbeda dalam hal rasionalitas dan kebermaknaan Ada tersebut; dasar ada tidak lagi rasional, melainkan irasional, dan tidak berbentuk kesadaran melainkan ketidaksadaran. Karya utama Schopenhauer, yang membuatnya terkenal, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi) bermula dengan penilaian tentang hakekat dan batas-batas pemahaman, tetapi tidak dengan pernyataan-pernyataan dogmatis tentang prinsip-prinsip metafisika.
Ia mempengaruhi beberapa filsuf dengan pemikirannya. Bahkan, Hittler mengaguminya. Menurut Schopenhauer, dunia ini adalah representasi ide atau pemikiran kita. Realitas adalah kehendak itu sendiri. Akan tetapi, kehendak itulah sumber penderitaan manusia. Untuk melepaskan diri dari penderitaan, menurut Schopenhauer, kita harus menghilangkan kehendak egoistik, menyerah kepada kosmik, dan menolong sebanyak mungkin orang. Schopenhauer mempunyai sebuah undang-undang yang kuat. Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan paham filsuf Imanuel Kant. Kekagumannya kepada keduanya itu amat besar. Hal ini terlihat dari ruang kerjanya dipasang dengan kedua patung tokoh tersebut. Pemikiran Arthur Schopenhauer berikut ini, antara lain:
1)     Dunia Sebagai Ide/Gambaran
Schopenhauer melihat dirinya sebagai bocah yang merevolusi Kant’s Copernican, sendirian membawa proyek masternya ke kesimpulan logika. Kant mempunyai argumen bahwa ada sebuah epistemic distingsi di antara dunia yang telah kita alami, dunia yang kelihatannya, dan dunia yang sebenarnya. Kita semua ide atau representasi. “Dunia adalah representasi saya,” tulis Schopenhauer. Schopenhauer membuka buku The World as Will and Representation-nya dengan kalimat, “The World is my idea”. Menurut Schopenhauer, benda yang dapat kita kenal adalah gambaran representasinya.
2)     Kehendak Hidup
Menurut Schopenhauer, ada dua aspek: di luar, yakni representasi, dan di dalam, yakni kehendak. Dunia adalah gambaran/kehendak. Kehendak adalah esensi dari kehidupan ini, kita hanya dapat mengenal dunia sesuai penampilannya kepada kita. Untuk dapat mengenal dunia, kita tidak mempunyai jalan masuk ke sana. Hanya ada satu pintu dan pintu itu adalah kehendak. Menurut Schopenhauer, kehendak itu bisa dimanifestasikan sebagai tubuh kita. Jadi, kita melihat representasi dunia dengan tubuh kita. Sebelum kita melangkah kepada pembahasan yang lebih jauh, terlebih dahulu kita melihat apa yang melatar belakangi pemikiran tersebut.
Di belakang pemikiran Schopenhauer, dapat kita temukan pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pengaruh Plato tampak pada pandangannya (thing in it- self) , dan Schopenhauer memahaminya sebagai sumber ide. Sedangkan, pengaruh Immanuel Kant dapat dilihat dalam pandangannya dalam dua dunia, yakni dunia noumenal dan fenomenal.  Dari pandangan mengenai pemahaman dunia itu, ada baiknya membahas dunia sebagai ide dan dunia sebagai kehendak.
a)     The world is my idea  merupakan kata pembuka dari karya besar Schopenhauer. The world as will and the world is idea. Maksud dari kalimat tersebut dapat dimengerti sangat “berbau”  kantian. Dalam kalimat tersebut, Schopenhauer menegaskan bahwa dunia eksternal yaitu dunia fenomenal, Hanya dapat diketahui melalui sensasi-sensasi atau ide-ide yang dapat kita terima. Disini dapat kita lihat bahwa peran subjek sangat dominan dalam pandangan Schopenhauer mengenai pengetahuan. Hal tersebut tentu dapat dipahami sebagai sebuah penolakan terhadap matrealisme. Dalam matrealisme kenyataan direduksi menjadi materi saja. Dengan menyatakan demikian, Schopenhauer menyangkal matrealisme. Bagaimana orang dapat menjelaskan bahwa pikiran merupakan hasil dari materi, jika kita mengetahui materi dari pikiran. Jika kita mengetahui materi dari pikiran?, Materi tidak pernah berdiri sendiri. Subjek memiliki otoritas atas materi. Tidak akan ada objek tanpa subjek, segala pengetahuan yang terdapat didunia ini merupakan konstruksi subjek. Melalui mata subjek melihat, melalui tangan ia meraba, dan melalui pengertiannya ia mengetahui. Dunia ide tak lebih hanyalah sensasi-sensasi belaka. Mereka tidak akan pernah berdiri sendiri tanpa adanya subjek yang mempersepsi. Dalam hal ini. bagi Schopenhauer dalam menyelidiki sesuatu yang benarnya, yang ditemukan hanyalah: kesan-kesan dan nama-nama. Jadi, dalam dunia fenomenal kenyataan merupakan objek dalam relasinya dengan subjek. Sebuah persepsi dari subjek yang mempersepsi, dengan kata lain dapat menyebutnya dengan Semu.
3)     Keselamatan dari Penderitaan Eksistensi
Bagi Schopenhauer, realitas adalah kehendak itu sendiri spiritual, bukan material - tetapi kehendak adalah penderitaan. Manusia terus-menerus berkehendak, terus berpindah dari kehendak satu ke kehendak yang lain. Menurut Schopenhauer, jalan keselamatan adalah Hindu. Penolakan terhadap nafsu, menghilangkan kehendak, membebaskan manusia dari ilusi dan penderitaan. Solusi dari permasalahan penderitaan ini adalah menghilangkan egoistis kehendak dan menyerah kepada kosmik. Estetika yang dikemukakan oleh Schopenhauer merupakan jalan keluar dari penderitaan, walaupun sifatnya hanya sementara. Penderitaan dalam hidup bisa disembuhkan oleh seni. Manusia yang hidup dalam keadaan patologis, dapat diangkat oleh keindahan seni. Schopenhauer menyebut seni-seni yang dapat mengatasi problem ini, seperti arsitektur, seni lukis, seni pahat atau patung, puisi dan musik. Dan, ia sangat meninggikan seni musik dalam filsafat Kehendaknya. Musik menjadi puncak dari segala bentuk seni yang lain.
4)     Moralitas
Menurut Schopenhauer, pada dasarnya manusia itu egois. Egoisme itulah yang melahirkan penderitaan. Untuk menghilangkan penderitaan itulah manusia harus melepaskan egoismenya, melepaskan diri dari kehendak, dan jalan moralitas adalah salah satu jalan pelepasan kehendak. Manusia harus melepaskan egoismenya dan menolong orang sebanyak yang dia mampu. Tampaknya Schopenhauer sangat terpengaruh oleh agama Hindu.
5)     Schopenhauer, Seks, dan Psikoanalisis
Bagi Schopenhauer, seks adalah “penegasan terhadap kehendak yang paling kuat. Itu kehendak hidupnya yang final dan tujuannya yang paling tinggi”. Oleh karena itu Schopenhauer memandang kelamin sebagai “fokus yang riil dalam kehendak”.
Dalam buku  karya Kumara Ari Yuana: 100 tokoh filsuf Barat abad 6 sampai abad ke-21, Schopenhauer dianggap berjasa karena  mempopulerkan pikiran Immanuel Kant dengan kombinasi unsur Filsafat Timur. Sifat uniknya adalah ia selalu melihat orang lain dengan curiga dan sinis serta kesan umum atas hidup adalah Pesimistik yang tak tergantikan. Hal tersebut tidak menjadikan Ia kehilangan rasa nikmat di dalam banyak hal, antara lain: musik, makanan, anggur, perjalanan, dan tamasya. Ketika merasa bosan, ia akan terlihat gembira dan hidup. Gaya tulisannya mempengaruhi pemikiran Friedrich Nietzsche dan Max Schler serta aliran “filsafat hidup”.
6)     Keputusan dan Hukuman
Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar. Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan. Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya.
Pemikiran khas Schopenhauer dalam estetika: Musik sebagai seni tertinggi
Musik sebagai Seni Tertinggi Menurut Schopenhauer, musik itu berdiri sendiri, berbeda dari seni-seni yang lainnya. Seni-seni yang lain mengulangi atau menyalin ide tentang eksistensi. Schopenhauer menyatakan bahwa seni-seni yang lain merupakan ungkapan dari Kehendak, sedangkan musik adalah Kehendak itu sendiri. Musik memiliki pengaruh yang sangat kuat pada inti kodrat manusia. Oleh karena itu, musik dimengerti dalam kesadaran sebagai ‘bahasa universal’.
Semua seni mempengaruhi kita secara menyeluruh dengan cara yang sama. Akan tetapi, pengaruh musik lebih kuat, lebih cepat, lebih bernilai, dan tak dapat salah. Selain itu hubungan representasinya dengan dunia lebih dalam dan tepat, karena musik dapat dimengerti oleh setiap orang. Titik banding antara musik dan dunia sangat jelas. Manusia memainkan musik sepanjang masa tanpa dapat menjelaskannya. Untuk mengerti musik secara langsung, orang meninggalkan semua klaim terhadap pemahaman langsung tersebut.
Ide merupakan objektivasi Kehendak yang mencukupi. Semua seni menggunakan representasi hal-hal pertikular untuk membangkitkan pengetahuan ini. Semua seni mengobjektivasikan Kehendak secara tidak langsung dengan menggunakan ide. Dunia merupakan manifestasi ide dalam penggandaan lewat ‘prinsip alasan memadai’ (principium individuationis). Prinsip ini dipakai oleh Schopenhauer untuk membedakan individu dari individu yang lain sebagai pengetahuan yang mungkin. Musik tidak tergantung pada dunia fenomenal, karena dunia adalah perwujudan ide; dan musik melampaui ide-ide. Seandainya dunia sudah tidak ada, musik tetap dapat ada. Musik tidaklah seperti seni lainnya sebagai tiruan, yakni sebagai ide. Musik merupakan objektivasi serta kopi seluruh Kehendak serperti dunia itu sendiri. Karenanya dampak musik menjadi begitu kuat dan langsung. Musik tidak berbicara tentang bayangan, melainkan tentang dirinya sendiri. Musik adalah bahasa tentang perasaan dan penderitaan manusia, sedangkan kata-kata merupakan bahasa akal budi. Dalam kodrat manusia yang paling mendasar terdapat suatu Kehendak yang selalu ingin agar Kehendaknya dipuaskan. Kebahagiaan serta kesejahteraan justru terletak di sini. Jika suatu keinginan tercapai, artinya ada suatu kepuasan dan kepuasan ini akan mencari keinginan baru lagi dan lagi. Sedangkan penderitaan adalah jika kepuasan ini tidak terpenuhi. Dalam musik Kehendak diwakili oleh melodi. Jadi, melodi mengungkapkan berbagai usaha Kehendak, dan kepuasan yang tercermin dalam interval-interval harmonis serta nada dasar. Melodi sebagai pengungkapan perasaan dan Kehendak manusia yang paling dalam merupakan sebuah karya jenius, dan tindakannya melampaui kesadaran biasa. Dalam semua seni konsep-konsep tidaklah bermanfaat serta mencukupi, karena para komponis mengungkapakan inti kodrat manusia paling dalam yang tidak dimengerti oleh akal. Maka dalam semua usaha untuk menjelaskan musik, konsep terlihat tidak mencukupi dan menjadi sangat terbatas. Seperti juga kebahagiaan atau penderitaan yang merupakan rasa puas yang terpenuhi atau rasa puas yang tidak terpenuhi, melodi dalam musik juga menggambarkan hal yang sama. Rasa senang atau gembira digambarkan dengan melodi yang ceria, lincah serta interval konsonan, sedangkan rasa sedih atau penderitaan diwakili oleh melodi yang lambat, melankolis, interval disonan yang menunjukkan kepedihan, keputusasaan atau kegalauan. Efek mayor dan minor dalam musik memang sangat mengagumkan. Perubahan akord mayor ke minor menimbulkan perasaan yang menyakitkan, seperti rasa sedih, cemas, kasihan dsb. Akord mayor membebaskan kita dari perasaan-perasaan demikian, karena ia mungkin memberikan rasa puas, seperti rasa tegar, gembira, optimis, dan lain-lain. Dalam buku Schopenhuer The World as Will and Representation (1819), Arthur Schopenhauer menulis bahwa “musik adalah jawaban dari misteri kehidupan. Kebanyakan tersusun dari segala seni, musik mengekspresikan pemikiran terdalam dari hidup.”
 
sumber: http://fitriairmalasari.blogspot.com/2014/01/makalah-filsafat-seni-telaah-pemikiran.html